Monday, December 3, 2018

Perang Tarif Dikalangan Para Operator Seluler

Kecenderungan perang tarif antar operator selular akhir-akhir ini telah menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Di satu sisi, fenomena itu dianggap positif karena memicu terjadinya penurunan tarif dalam bertelekomunikasi. Di sisi lain, gejala ini dinilai kurang baik karena mereduksi kualitas layanan para operator.

Kontroversi tersebut, telah menimbulkan serangkaian pertanyaan, siapa dan bagaimana tarif ditetapkan? Benarkah perang tarif berdampak menurunkan tarif dan kualitas layanan? Upaya apa yang seharusnya dilakukan stakeholders (khususnya regulator dan operator) dalam menciptakan layanan yang bertarif murah tapi berkualitas?

EVDO-Rev-B-and-4G-tariff-comparison-chart_India

Secara yuridis, penetapan tarif ditentukan pemerintah dan operator sebagaimana diatur di Pasal 27 dan Pasal 28 UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pasal 27 pada intinya menyatakan susunan tarif jaringan maupun jasa telekomunikasi yang terdiri dari struktur tarif dan jenis tarif ditetapkan berdasarkan formula tarif dari pemerintah (Depkominfo cq. Ditjen Postel). Adapun struktur tarif mencakup biaya aktivasi, biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan, dan biaya jasa tambahan; sedang jenis tarif meliputi tarif lokal, SLJJ,

SLI dan airtime untuk selular.

Adapun pasal 28 berbunyi operator berhak menetapkan besaran tarif jaringan dan jasa telekomunikasi berdasarkan

formula tarif pemerintah, yang terdiri dari tarif awal dan besaran tarif perubahan. Penentuan tarif awal mengacu pada komponen biaya layanan, sedang besaran tarif perubahan didasarkan pada faktor inflasi, kemampuan (daya beli) masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi. Singkatnya, besaran tarif tiap operator ditentukan oleh para operator berdasarkan formula tarif yang dibuat pemerintah selaku regulator.

Namun, dalam praktiknya DPR juga turut menentukan besaran tarif. Alasannya, tarif merupakan hal yang berdampak signifikan bagi masyarakat, sehingga DPR sebagai lembaga perwakilan bagi seluruh rakyat Indonesia berhak wara-wiri dalam penentuan besaran tarif. Dari segi kebijakan publik argumentasi tersebut logis dan merupakan refleksi ketentuan Pasal 4 dan 5 UU Nomor 36 Tahun 1999.

Logika yang sama juga digunakan lembaga non-peme-rintah dan asosiasi di bidang telekomunikasi dalam penentuan tarif. Contohnya, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang gigih memperjuangkan penurunan tarif telekomunikasi. Pun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menetapkan beberapa operator selular bersalah karena dinilai menetapkan tarif secara kolutif, dan penetapan itu dikuatkan oleh lembaga peradilan.

Argumentasi sebagian kalangan yang menolak keterlibatan regulator, termasuk DPR maupun lembaga non-departemen dan asosiasi di bidang telekomunikasi, dalam penentuan tarif (tingkat keuntungan) dengan alasan hal itu dianggap wilayah kedaulatan operator, merupakan hal yang debatable. Dalam arti, argumentasi itu dapat diterima bila keikutsertaan mereka menghambat perkembangan industri telekomunikasi, tapi harus ditolak bila berdampak sebaliknya.

Keterlibatan DPR dalam penentuan tarif memang berpotensi menghambat pene tapan tarif yang ideal, karena seringkah “intervensi” DPR disinyalir syarat muatan politis yang mengakibatkan hakekat dan tujuan penetapan tarif melenceng. Demikian pula pemerintah, khususnya pemerintah daerah provinsi maupun kota/kabupaten, yang menciptakan ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan menara telekomunikasi, misalnya. Pasalnya biaya itu diinternalisasi operator ke konsumen, sehingga berdampak meningkatkan tarif retail.

Namun keterlibatan pemerintah dan DPR (termasuk lembaga non-departemen dan asosiasi telekomunikasi) merupakan amanah konstitusi dan UU Nomor 36 Tahun 1999, sehingga yang perlu dilakukan ialah berupaya “meluruskan” mereka bila ada indikasi penyimpangan. Caranya, mendorong setiap stakeholder pertelekomunikasian nasional untuk selalu mengkritisi motif mereka dalam penentuan tarif telekomunikasi.

0 comments:

Post a Comment